My blog has moved!

You should be automatically redirected in 6 seconds. If not, visit
http://balonwarnawarni.wordpress.com
and update your bookmarks.

expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

December 25, 2008

After all this time

Trying to push the past away
Still waiting for the lights to change

Tadi malam
ada yang diamdiam
meringis berdarah dan tertikam

Lalu ia

meyeka
lukaluka lama
mereka
kapan ia sirna
rima rima cahaya
bikin buta!

memang sebaiknya
terpisah saja

nostalgi hanya bikin gila
dan satu lagu terunut tanpa awal atau akhirnya.........


*inspired by 'after all this time, simon webbe*

December 19, 2008

Daydream believer

Saya terbangun pagi
atau ini mimpi mimpi siang hari?
saat berkelindan rasa menjalari cakrawala mimpi
meretas berharap alarm pagi ini tak pernah berbunyi

Cerialah, embun embun yang mengabu di kantuk yang terusir
semenamena membunuh jiwa pemimpi dan gairah yang berdesir

labirin labirin kosong ditinggal joker yang tertawa pergi
mengejek dewi venus yang termangu, saat mars direngut , tercuri
dan sang penyihir kabut menyembunyikannya
dan mengempit cahaya di selimut yang lipitnya tak ternyana

agar tak terlihat : ssh! aku ingin memiliki
tak salah kan, bila kau yang ada di hati?
kudengar diriku sendiri terkikik lalu menangis
di tiap bulir mata merona
dan mencekik arak dunia
seraya meringis pada tangis

karena cinta
tak ada
maka

harus
dijarah dari indah

[masalahnya, mars amat menggoda!]

apa itu aku?
setega itu?
atau sang joker kartu mati
membalikkan semua sepi?

Saya terbangun pagi
atau ini mimpi mimpi siang hari?
saat berkelindan rasa menjalari cakrawala mimpi
meretas berharap alarm pagi ini tak pernah berbunyi....

December 18, 2008

And when...

Dan kala kau terbaring takberdaya di rengkuhnya...
melihat keabadianmu terukir di pias kerlip matanya
merasakan denyutnya di nadimu
dan tangisnya di pelupukmu
menghela nafasnya di paruparumu
dan bahagianya di hatimu

Dan ketika ia, satusatunya yang bisa kau imajikan dalam sejuta bayang wanita di dunia
saat menyadari bahwa kau rela berlutut di hadapan maut
untuk mencurinya dari semua kesakitan
saat mentasbihkan kata cinta yang bukan terbuang percuma
tapi doa yang terapal untuk selalu mencintainya
dan hati yang pada hatinya, tertaut

Dan dengannya, berjalan di tebing terterjal menjadi sedikit lebih tidak menyakitkan
Dan hutan hujan di mimpimu menjadi sedikit lebih hijau dengan tawanya
Dan melangkah disampingnya adalah mengarungi nyata pagi dan mimpi malam
ketika sedikit bumbu kegilaan terasa berarti untuk manis kecupnya
dan kau rela menikam waktu dan jarak untuk sekedar tahu
bahwa ia masih bisa tersenyum, dan merengkuhmu


Dan saat itu,

Kau mencintainya.

December 17, 2008

Que Sera, Sera

Sang dewi, maafkan aku.
Tapi aku mencintai ksatriamu....

Tak peduli di masa lalu ia berdarah dan berpeluh saat memanjat ke kuil bintangmu,
Tak peduli ia (mungkin) masih menyimpan serpih asteroidmu
Tak peduli berapa banyak luas ruang maya yang ia sisakan untukmu

Dan kala satu masa,
aku tahu kau merajut semesta untuknya
dikala jerat cahaya dan semua
untuk menaut hatinya dan mengecup lelahnya
dikala cinta menasbih di semua musim dunia
untuk halusnya rasa, dan ia untukmu
dikala pada rahim cakrawala sayap sayap ikarus dikembangkan
menuju waktu, yang tak terdefinisi antara sanubarimu dan dirinya
Maka maafkan aku...

Dan kini, bolehkan aku tersanjung pada satu senyumnya
dan bait bait sajaknya dari ufuk sana
dan samar rindu yang terpanah untuk aku, yang hanya manusia

Masih saja kutahu, takkan kubisa kalahkan pesonamu
yang rinai di tiap nafasnya yang deru di bayangmu, duhai sang dewi...

Tapi aku, yang tak setinggi puncakmu...
mencintainya lebih tinggi dari puncak halimun manapun di bumi
mencintainya hingga sanggup menggigil berjalan hingga lepuh
mencintainya hingga sanggup merentang jarak dan mata angin
mencintainya hingga mematikan rasa hati pada semua masa lalunya
mencintainya hingga tak tahu lagi apa
mencintainya, yang di pundaknya masih ada kuasamu.....

Maka sang dewi, maafkan aku.
Tapi aku mencintai ksatriamu....

Nina Bobo...

Tak bosan bosan aku
walau pada nada pertama senandung tidur
mimpi menjeratmu dan menarikmu keladalam lelap

Takkan jenuh aku
ah, lihat kerjap matamu dan kerlip yang membaur
pelanpelan pudar kerlipmu dalam satu lelah yang terhisap

Kantuk yang menggelayuti kelopak, dan
Selamat tidur, pengisi hari dan hati
Nyenyak tidur, ksatria yang lelah berlari...










Teruntuknya, yang tadi malam membisikkan satu sapa lewat sinar sang chandra, yang mengecup piasku sembari berkata, 'Selamat tidur, peri kecilku....'

Raining

Lihat badai itu.
Dan angin menerpa, sekali lagi
Dan kuseka rintik hujan yang mengecup, sekali lagi
Adakah mega mendung yang sama memayungi gerimismu, sekali lagi?

Lihat petir itu
Dan firasat meruak, sekali ini
Seakan rindu meluap, sekali ini
Adakah kilat rasa yang sama kau rasa, sekali ini?

Dan kelam langitku
Dan hitam langitmu
Dan legam langit kita
di rindu yang menjelaga

Rasa menyeruak
Dan badai yang berteriak!

Runtukkan satu keluh hujan ini :
Tiada kau untuk dampingi sunyi disamping diri

December 4, 2008

The Ending of a Night

Aku berjalan pelan menuju malam.

Hingar bingar letupan tawa dan wangi kepul hidup sudah selesai, dan aku berjalan lunglai. Ini malam ketiga mengusir bayangan dan hanya memenuhi kepala dengan wangi samudra dan koral serta bersendau dengan warna warni ikan, lalu menghabiskan tuak hidup di pantai berbatu dan tertawa, mengusir senyap yang membolongi hati kala dirimu tak ada lagi.

Aku berjalan pelan menuju kelam.

Karena bulan yang terpantu di laut malam bukan pelita rembulan - rembulanku kukira sudah mati dan mengusir diri. Dan kembang api yang mereka nyalakan takkan cukup untuk menerangi malam bukan? Sinar sinar artifisial bukan untuk diri ini, jadi biarkan saja kuseret langkahku pergi...Dunia sinar takkan ada lagi.

Aku berjalan menuju suram.


Tepekur.



Dan tibatiba kulihat bulan lagi, sambil merayu wangi samudra hati :

Setelah rembulan mati, akan ada sabit lagi
Dan dipenghujung malam, sinarnya akan mulai cumbui diri...





[kau datang lagi. meruntuki semua salah dan sesal pada satu luka, di mimpi buruk dimana hancur lagi sayap ini. Kau datang lagi. Katakan, apa akan kau rekatkan sayapmu di bahu luka ini? katamu, kau datang lagi. Dan tak lagi pernah menyuruhku pergi]

December 2, 2008

[Saat Sepi]

Katakan dimana letak salahku?

Bunda bumi dewata,
pada gemerisik pantai batu surgamu aku mempertanyakan diri sendiri.

Terhanyut arus bayu, kamboja putih gugur satu lagi.
Dan pada dunia
Tak ada satupun yang tersia,
Nyanyi kicau jingga padaku siang itu
Bahkan bila satu kelopak tanggal
untuk memberi tempat mekarnya pucuk baru..
Dan deru laut menyuruhku mendengarkan hati :
masih saja aku menyalakan tanya

Katakan dimana salahku, bunda bumi?
Mengapa sakit sekali saat rama rama tak lagi hinggap di sanubari hanya karena cakrawala terlalu agung untuk diresapi?

"Dengarkan saja hati", bisik bunda bumi
"Karena hati masih ada.."

"Ia ada pada semarak goyang ilalang di langkah kecilmu yang letih
Ia ada pada desau sunyi rapal doa ketika pandu meredup dan kau hilang arah
Ia ada pada suara dari jauh sana, kawan yang selalu ada dan percaya
Ia ada pada resonansi ombak di malam badai terburukmu kala nyala hasrat sembunyi
Ia ada, kecup bunda bumi saat masih saja kuruntukkan perih"

"Kau hanya harus mencari sunyi untuk sayupnya...
biarkan menelusup merayapi luka
terbujur menganga tapi toh nanti terbilur masa"

"Kau hanya harus merasa...
jadi berhentilah bertanya.."



Tetap saja aku mengutuki dunia : Katakan dimana letak salahku?

Note on afternoon rain

Bulir tetes hujan berdesakan memenuhi jendela..

Jatuh satusatu terseka luka
Adakah itu airmata?

Dan jengahkah menunggu, pada suatu ketika dimana semua kabut tipis tersibak?
Kala itu, masihkah bermimpi berjalan pada peraduan hutan pinus ?
Ah jiwa peragu.
Gugur di puncak.
Tak menanti?

Meresapi dekapan bayu yang menggigiti tulang...
Adakah di ujung hari yang menua masih ia rengkuh matari sambil berbisik nina bobo dan jangan bermimpi?
[Mungkin tidak, setelah ia mengusir semua pergi]


Mencari titik untuk tanya.
Mencari perih untuk disibakkan
Dulu, aku pernah sekali bertanya
Adakah aku venus di langitnya
Adakah untuknya, aku sang dewi yang lelah bermimpi?
[dan aku takkan pernah bisa, bukan?]


Maaf untuk meragu.
Sore ini juga minta maaf, untuk derau gerimismu...

Kalah

Sore itu mentari sedih mengintip diujung pantai batu. Dan agung bayang pura memayungi hati yang kerontang setelah satu asa yang tersisa diusir pergi dari semesta. Sore itu, awan menjelma bayang dan semburat sinar menjelma senyum indah. Dan mungkin dewata mengirimkan jelmaan alam menyerupa seorang dewi yang mengalunkan nada di tengah orkestrasi derau laut dan semilir daun bercinta dengan bayu.

Sore itu mentari sedih mengintip di ujung pantai batu, sinar airmata yang berderai dan bumi yang masih saja damai. Aku merasa kecil dan suram, tak indah..tempatku bukan disini, bukan bersama lagu sore dini..

Karena apalah aku ini?

Dan apalah aku..

Aku bukan seorang dewi yang untuknya kau persembahkan senandung
Dan bukan seorang dewi yang untuknya kau rela membunuh mendung
Tertusuk pelan...

Karena aku bukan, dan takkan pernah menjadi seorang dewi
yang padanya akan selalu tersembunyi rasa di relung hati
Takkan pernah aku, jadi seorang dewi
Tersayat kelam...

Satu tanya, yang harusnya tak ada, katamu:

Akan selalu kalahkah aku?



Apalah aku, lagi lagi...