Dejavu membawa mereka ke satu tepian nasib.. mendamparkan seenak perutnya. Ia mengingat luka-luka. sang pria diam, memandang gelap..dan diam-diam meliriknya. Entahlah, kita bertemu di saat yang salah, pikirnya. "Dia tak lagi bersamamu?" Sang pria akhirnya bersuara. Ia menggeleng lemah. Terlalu banyak malam yang ia sia-siakan merindukan pria itu. Memandang ke trotoar dari berandanya, berharap suatu hari ia akan lewat dan mendongak, lalu tersenyum dan melambai seperti dulu, berlatar belakang rembulan yang kontras dengan senyum lebarnya- tapi sang pria tak pernah lewat. Hingga ia akhirnya menemukan pria lain, yang tidak hanya lewat di jalan depan, tapi mengetuk pintunya. Masuk ke rumahnya, mencumbunya pelan dan membuatnya termanggu pada ramai kehidupan yang selalu ia lihat dalam diam dari berandanya - dan menggandengnya keluar, mengajaknya terbuai pada cahaya, menikmati ramai bising jalan dan meneguk saripati hari. Ia tak pernah ke beranda lagi. Hingga ia mabuk dan mencinta hidup, lebih dari ia mencinta pria lain ini...yang dengan senyum dan air mata melepasnya saat ia berkata ia ingin berlayar. ke pulau-pulau jauh, mengabadikan senja dan ombak, berlari kemana angin berdesir. Sampai di tepian satu waktu dimana ia lelah dan sebentar istirah di satu pantai tak bernama. Dan disitu, ia menemukan memori lama. Pada sang pria, yang mengelana mencari dirinya sendiri (dan entah bagaimana tahu tentang pria lain yang dulu mengetuk pintunya dan mengenalkannya pada udara). Ia berbisik pelan, pelan sekali...
"Coba kau sudah melupakanku..
Jadi aku takkan ragu
Coba kau sudah membenciku,
Namun ternyata kau
Seperti dulu,
Masih mencintai angin,
Bergelayut dan bermimpi..
Dan menghirup wangi senja
dan malam yang mulai purnama
Lalu tersenyum padaku
Yang memandang ombak sembari bertanya
Dan salahkan diri"
"Coba kau sudah melupakanku,
Dengan gampangnya mungkin aku akan memelukmu
Dan tak keberatan dengan kecup itu.."
1 comment:
bagus... bagus... suka banget
Post a Comment