Entah mengapa kita selalu berjumpa pada akhir senja...
Sore ini, saat langit jadi lembayung dan sepi diam-diam mengoyak pantulan langit pada pasir basah, kau datang padaku. "Kenapa?", tanyaku selalu. "Karena kita berdua hamba malam, sayang", katamu. Kau terlihat lelah, melarikan diri dari nyata dan cinta yang bukan cinta.
Ah iya. Kita berdua kan memang suka sembunyi-sembunyian, berlindung di kelam malam yang menyimpan janji-janji gombal pemuja cinta dan sumpah serapah hati yang patah. Lalu kita akan hanya terdiam, berdiri mematung sendiri-sendiri , termanggu di ngelangut semburat jingga senja di riak ombak lembut yang menyapu kaki. Menunggu matahari terbunuh pelan pelan, berdarah...merah jingga ... Lalu mati dan gelap. Tanpa basa-basi, seperti saat kita jadi berani bergandengan dan melintas malam seperti anak panah beracun.
Kita suka berdansa dan berteriak, meledeki nona nona dan tuan tuan kecil yang minum sendiri saat kita bersulang pada malam dan rahasia-rahasia yang disimpannya. Cahaya redup peri yang berdesing di satu nada jadi memusingkan, dan saat kita terlalu lelah melintasi labirin, kita berbaring di satu padang bintang. berbisik dan berbagi kecupan. mencoba hiraukan detak waktu dan taring kejam kehidupan yang retakkan utopi. "Shh..jangan pikir apa-apa malam ini", ujarmu. "Jangan dengar detak jam itu"...
Biar malam jadi kelambu bagi hati yang ingin tumbuh tapi tak bisa bersemi. Biar cinta jadi sesuatu yang nisbi. Biar memiliki jadi satu konsep yang kita benci. Dan kau mengelus rambutku pelan, hingga aku terpejam dan bermimpi. Mengunci bibirku dengan kecup lembutmu. Menyandarkanku di satu hangat tak terdefinisi di bahumu. Dan aku tenggelam di kejora matamu. Sama-sama berharap hari tak pernah pagi.
"Kita seperti vampir, ya?" , candaku. "Aku benci siang", katamu. "...Karena siang mendamparkan kita di ujung dunia berbeda.."Aku mendesah pelan. Ingin rasanya kutikam dewi Venus yang menculikmu pada pagi dari belakang. Hingga tak cantik bersinar lagi ia, dan kau bisa sembunyi di kelam bersamaku. Kau mulai meracau, ingin membunuh bintang satu persatu, membuatku menangis. Mengapa, tanyaku. Bukankah bintang terangi labirin malam kita?Bukankan bintang gemintang tertawa saat kita bernyanyi, minum dan menari? Bukakah bintang teman malam?
Kau tersenyum pahit."Sayangku yang bodoh...tak sadarkah kau, matahari yang begitu kita benci...hanyalah bintang yang terlalu dekat dan membakar hati"
Ah iya. Kita berdua kan memang suka sembunyi-sembunyian, berlindung di kelam malam yang menyimpan janji-janji gombal pemuja cinta dan sumpah serapah hati yang patah. Lalu kita akan hanya terdiam, berdiri mematung sendiri-sendiri , termanggu di ngelangut semburat jingga senja di riak ombak lembut yang menyapu kaki. Menunggu matahari terbunuh pelan pelan, berdarah...merah jingga ... Lalu mati dan gelap. Tanpa basa-basi, seperti saat kita jadi berani bergandengan dan melintas malam seperti anak panah beracun.
Kita suka berdansa dan berteriak, meledeki nona nona dan tuan tuan kecil yang minum sendiri saat kita bersulang pada malam dan rahasia-rahasia yang disimpannya. Cahaya redup peri yang berdesing di satu nada jadi memusingkan, dan saat kita terlalu lelah melintasi labirin, kita berbaring di satu padang bintang. berbisik dan berbagi kecupan. mencoba hiraukan detak waktu dan taring kejam kehidupan yang retakkan utopi. "Shh..jangan pikir apa-apa malam ini", ujarmu. "Jangan dengar detak jam itu"...
Biar malam jadi kelambu bagi hati yang ingin tumbuh tapi tak bisa bersemi. Biar cinta jadi sesuatu yang nisbi. Biar memiliki jadi satu konsep yang kita benci. Dan kau mengelus rambutku pelan, hingga aku terpejam dan bermimpi. Mengunci bibirku dengan kecup lembutmu. Menyandarkanku di satu hangat tak terdefinisi di bahumu. Dan aku tenggelam di kejora matamu. Sama-sama berharap hari tak pernah pagi.
"Kita seperti vampir, ya?" , candaku. "Aku benci siang", katamu. "...Karena siang mendamparkan kita di ujung dunia berbeda.."Aku mendesah pelan. Ingin rasanya kutikam dewi Venus yang menculikmu pada pagi dari belakang. Hingga tak cantik bersinar lagi ia, dan kau bisa sembunyi di kelam bersamaku. Kau mulai meracau, ingin membunuh bintang satu persatu, membuatku menangis. Mengapa, tanyaku. Bukankah bintang terangi labirin malam kita?Bukankan bintang gemintang tertawa saat kita bernyanyi, minum dan menari? Bukakah bintang teman malam?
Kau tersenyum pahit."Sayangku yang bodoh...tak sadarkah kau, matahari yang begitu kita benci...hanyalah bintang yang terlalu dekat dan membakar hati"
No comments:
Post a Comment