Untukmu, yang tak pernah tahu. Atau memilih untuk tak tahu.
Melihat punggung sedihmu kala aku tak bisa lagi merengkuhmu adalah salah satu hal paling menyakitkan yang pernah kukecap. Seperti merobek atmosfir sunyi yang dari tadi menghantui, melahap detak rindu yang terpancar jelas di raut wajahmu. Detak rindu yang diam diam juga kupunya namun kuendapkan seperti sakit yang mengkulminasi hingga hati mati rasa.
Maaf, aku tak bisa memperjuangkanmu. Aku memaksa kata kata itu keluar dari pita suaraku yang mencekik hati, karena ia berkhianat terhadap apa yang sesungguhnya ada. Telah kususun alfabet demi alfabet untuk membentengi diri, jauh sebelum malam ini. Karena tanpa kau tahu, diammu adalah sayatan pisau tajam. Kau berkata, aku berubah. Tolong, jangan lihat aku seperti itu. Ini topengku yang keseribu agar kau tak lihat duka yang berderai dibaliknya.
Kau menggenggam tangaku. Ah, adakah kau menggenggam tangannya dengan cara yang sama? Dan berjuta pikiran yang bersliweran memenuhi benak kecilku semenjak kutahu ia ada, dan semakin ada. Dan aku hanya bisa memilikimu lewat gelombang suara. Lewat malam malam dimana para pengecut bersembunyi di balik selimut, yang harus disibak pagi tak peduli seberapa nyamannya selimut itu. Seperti kita, yang mendamba malam dan semua rahasia. Seperti rasa sayang yang kusisipkan di lembar tergelap buku tentang semua yang terlupa.
Mengapa saat aku mulai menyayangimu?, tanyamu. Ah...Rasa sayang bukan kue pie apple sore hari yang bisa kita bagibagi, bukan? Dan sayap malaikatmu mengantarmu selalu pulang ke dirinya, yang hatinya terbuka luas, cukup luas untuk menampung semua ego dan sepi, semua tangis dan teriakmu. Dan aku? aku hanya seseorang yang kau temukan teduh di kala pertama kau menatapku. Aku hanyalah cinta, bukan nyata seperti ia.
Kau mengutukku pelan, mengapa aku bisa setenang ini saat menghempasmu ke bumi dari tangga menapak angkasa yang kita bangun berdua. Padahal kau baru saja pulih dari rindu. Aku mafhum, lelakiku. Telah kau habiskan malam malam tak bertepi meneguk sepi, saat rindu menguasaimu, rindu padaku yang pergi tigapuluh purnama dan hanya sempat kau rengkuh sesaat. Mengapa sekarang, katamu. Baru saja bisa kau kecup hadirku, tapi bayangku sudah menjarak dari hatimu. Maaf, tapi aku harus melakukan ini. Dan kau menghardikku karena bisa setenang ini menghujanimu dengan perih, dimana tahu dirimu, cinta pada pandangan pertama lagilagi cuma khayalan dongeng peri - ada sayang tulus tak termiliki.
Maaf, tapi aku tak bisa lagi memperjuangkanmu....Tidak disaat ada ia-Tidak disaat kau tak bisa memperjuangkanku seperti halnya aku.
Aku berubah, katamu. Aku seharusnya tak setenang ini jika aku benar benar menyayangimu.., runtukmu.
Ah,....
Andai saja kau tahu, berapa banyak rasa sakit yang menjalari hati hingga ia mati suri - seberapa banyak pedih yang ditanggung sendiri...Dan sebelum menemuimu di bandara tadi, aku menangis sejadi jadinya saat pesawat meninggalkan bumi...membunuh semua pilu. Hingga saat aku menemuimu, bisa kupersembahkan senyum indahku, untukmu terakhir kalinya....
Dan aku telah menangis sejadi jadinya saat pesawat mulai meninggalkan bumi...Hingga tak harus kau lihat ku berairmata, Hingga tak harus kubebani pundak ringkihmu dengan rasa cinta yang begitu pilu hingga harus dibekap diam..
Maaf.Tapi aku tak bisa menangis didepanmu, tak peduli seberapa sayangnya aku.
Balikpapan, di satu waktu, 2008
No comments:
Post a Comment